Penulis Cilik Dengan Karya Luar Biasa
Kecil-kecil cabe rawit adalah julukan yang pas bagi kedua
penulis cilik ini. Alya dan Muthia bergabung dengan komunitas Kecil-kecil
Punya Karya yang dinaungi oleh sebuah penerbit. Tak tanggung-tanggung penjualan
buku cerpen dan novel mereka bahkan lebih dari 12 ribu eksemplar. Selain itu
merekapun menyabet berbagai penghargaan menulis. Apa yang mendorong Alya dan
Muthia menjadi penulis? Dari mana saja ide tulisan mereka dapatkan? Reporter
KBR68H Rumondang Nainggolan bertemu dengan mereka.
Menumbuhkan Minat Menulis
Pagi itu puluhan siswa SD Islam Al
Ikhlas, Bekasi, Jawa Barat memadati aula sekolah. Mereka asyik mengikuti acara
promosi keliling komunitas penulis cilik Kecil-Kecil Punya Karya.
Penulis cilik Alya Namira Nasution
yang akrab dipanggil Dinda menjadi pembicara.
“Jadikan kalau KKPK itu anak kecil
bisa nulis, kalau di media lain kebanyakan orang dewasa. Jadi anak kecil bisa
nulis kisahnya sendiri gitu. Yang pertama itu punya karya, kedua punya banyak
teman, punya banyak pengalaman terus dapat royalti.”
Dinda menjadi penulis dan bergabung
dengan komunitas Kecil-Kecil Punya Karya yang digawangi penerbit Mizan sejak
usia 8 tahun.
Alya
dan kedua orang tua
“Halo perkenalkan namaku Alya Namira
Nasution tetapi biasa dipanggil Dinda. Umurku 10 tahun. Aku lahir di Medan 7
Februari 2001. Aku bersekolah di SDN Cipayung 2 kelas 6. Buku yang aku tulis
ada empat, yang pertama Super Manda, kedua Strawberry Secret, ketiga Eyang
Rendra, dan yang keempat The Pinky Girls.”
Dinda lahir di keluarga yang dekat
dengan dunia tulis menulis. Sang bunda Ade Nur Sa’adah yang juga seorang
jurnalis bercerita, kakek Dinda adalah guru sekaligus penulis buku pelajaran.
Sementara sang Ayah, Haris Nasution adalah seorang seniman teater dan penulis
lagu. Ade menambahkan, Dinda sangat dekat dengan penyair WS. Rendra.
“Sebenarnyakan background
kami itu tidak jauh dari menulis ya. Kalau menurut saya inspirator terbesar dia
ya Rendra karena kitakan pertama pindah ke Jakarta itu tinggalnya di bengkel
teater Rendra selama 2 tahun, sempat ayahnya anggota teater Rendra. Nah itu
kita pindah gak dikasih sama Rendra. Dia selalu bilang ‘kamu tuh jimatnya
eyang’ ke Dinda. Jadi Dinda yang umur 7 tahun dan Rendra yang 70 tahun gak
punya jarak. Setiap hari mainnya ke perpustakaan, mimpinya punya perpustakaan
kayak eyang Rendra, ngomongnya udah bersahabat banget. Tinggal di teater Rendra
itu benar-benar menambah warna tulisan dia.”
Dinda bercita-cita menjadi komikus.
Berbagai penghargaan telah diraih pula oleh sulung dari 2 bersaudara ini.
Diantaranya, tulisannya yang berjudul Who Is The Mysterious Guest dan The Pinky
Girls terpilih menjadi Cerpen Pilihan dalam Lomba Cerpen Hari Anak Nasional
2011. Selain itu, Dinda juga menjadi juara pertama kategori penulis cilik dalam
lomba cerpen Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2011.
Azzura murid baru di Musilza Islamic
School bersama kedua sahabatnya yang bernama Adiva dan Avalia, dia mendapatkan
banyak sekali cerita seperti kelas bebas, miss pay card dan pengalaman berlomba
dengan skala lain.
Muthia
dan Sang Bunda dengan buku hasil karyanya
“Itu tadi ringkasan dari bukuku yang
berjudul Miss Pantun dan Miss Fashion. Namaku Muthia Fadhila Khairunnisa, aku
umurnya 11 tahun, aku kelas 6 SD dan bersekolah di sekolah Islam At-Taqwa
Rawamangun Jakarta Timur. Aku sudah menghasilkan 10 buku, diantaranya Miss
Pantun dan Miss Fashion, Manusia Bunglon, dan Strawberry Secret. Cita-citaku
menjadi Pianis, Penulis, dan Balerina, juga duta UNICEF.”
Ini adalah penulis cilik Kecil-Kecil
Punya Karya lainnya, Muthia yang akrab disapa Thia. Ia mengaku tertarik menulis
sejak usia 6 tahun. Berawal dari tugas meringkas buku yang menjadi pekerjaan
rumah dari sekolah.
“Awalnya waktu kelas 1 SD aku gak
ada PR (Pekerjaan rumah-red) tapi setiap Sabtu Minggu disuruh meringkas cerita
dari buku. Akhirnya karena sering meringkas kepikiran pengen buat buku juga.
Kelas dua aku ketemu sama KKPK, setiap ke mall aku ke toko buku, karena belum
punya laptop sendiri seringnya nulis di buku tulis, akhirnya terkumpul jadilah
buku.”
Keseriusan Thia menulis dimulai dari
mengikuti Konferensi Anak Indonesia yang diselenggarakan majalah Bobo pada
2009. Tulisannya berjudul Life Skill Memasak di Sekolahku mengantarkan Thia
menjadi delegasi dari Jakarta. Kemudian diapun mengikuti pelatihan menulis dan
Konferensi Penulis Cilik Indonesia yang diselenggarakan penerbit Mizan.
Selain sekolah dan menulis, Thia
juga memiliki sederet aktivitas lain seperti les piano dan balet. Berbagai
prestasipun telah diraih Thia, diantaranya penulis terbaik dalam Konferensi
Penulis Cilik Indonesia 2011 dalam karya Miss Pantun dan Miss Fashion dan
pemenang harapan kategori penulis cilik dalam Lomba Cerpen KPCI 2011.
Alya
dan koleksi bukunya
Penulis cilik Muthia dan Dinda
menjadi bukti potensi anak bisa digali sejak dini. Ibu Muthia, Shinta Handini
menilai dukungan orang tua terhadap anak sangat berperan.
“Setiap anak itu dilahirkan unik ya,
mempunyai kepintaran, bakat di bidang masing-masing, tidak ada anak yang
bodoh. Ada anak yang pintar dalam bidang olahraga, ada yang pintar bermusik,
ada yang pintar pendekatan dengan orang lain sehingga dia bisa jadi PR (Publik
Relation-red), penyiar, segala macam, kita support ajalah apa yang mereka suka
sesuai bakatnya. Kalau bekerja sesuai bakat sesuai bidang lebih menyenangkan,
dengan minat menyenangkan. Ya udah sekarang mau jadi apa aja silahkan yang
penting profesional.”
Sementara Ayah Dinda, Haris Nasution
menyatakan, keterbukaan dalam keluarga diperlukan untuk menggali potensi anak.
“Banyak-banyaklah bicara pada anak,
berkomunikasi tentu saja. Dalam artian berkomunikasi itu tidak sebagai seorang
ayah kepada anaknya atau seorang ibu kepada anaknya. Tetapi bagaimana membuat
satu pola kita menjadi tim atau anak itu menjadi sahabat kita. Jadi dia tidak
akan deh mau menyembunyikan sesuatu dan kita cepat bisa baca karena dia lebih
terbuka. Saya tidak cenderung menjadi ayah tapi menjadi teman yang baik bagi
anak saya.”
Kecil-kecil Cabe Rawit
Kecil-Kecil Punya Karya atau KKPK
terbentuk pada 2003 lalu. Berawal dari proyek idealis penerbit Mizan yang ingin
mewadahi minat menulis anak-anak. Karya pertama yang diterbitkan berjudul Kado
Untuk Ummi, hasil tulisan Sri Izzati yang saat itu berusia 8 tahun. Disusul
buku kedua karya Abdurahman Faiz yang berjudul Untuk Bunda dan Dunia di tahun
2004.
Muthia
dan koleksi bukunya
Staf Promosi Penerbit Mizan, Nugraha
Hidayat mengatakan, KKPK dikhususkan untuk penulis berusia 8 hingga 12 tahun.
Ia mengaku, awalnya sulit untuk mencari penulis cilik.
“Awal terbit itu 2003 satu, 2004
satu, cuma dua sampai kemudian berkembang sekarang itu sudah 200an lebih
(penulis-red), tapi perjuangannya juga tidak mudah karenakan siapa yang mau
baca buku karya anak-anak pada waktu itu. Sementara pada zaman-zaman kitakan
masih trend dengan lima sekawan dan lain-lain bacaan dari luar negeri, khusus
karya anak Indonesia itu tidak ada.”
Tapi itu dulu. Saat ini pasar begitu
terbuka dengan karya para penulis cilik tersebut. Kembali Nugraha Hidayat.
“Karena anak-anak itu katakanlah
anak-anak KKPK bukunya itu terserap dalam satu bulan bisa 1000 eksamplar, mengalahkan
orang-orang dewasa malah. Jadi kalau saya menulis misalnya Kecil-Kecil Jadi
Detektif, belum tentu seperti Kecil-Kecil Punya Karya yang usianya relatif di
bawah kita. Jadi karena kita pelopor ya di Kecil-Kecil Punya Karya, anak-anak
itu sudah punya bayangan, brand (merk-red) sendiri dalam benak mereka. Jadi
kalau mereka membeli ya Kecil-Kecil Punya Karya.”
Kegiatan promosi keliling ke
berbagai sekolah dan toko buku dipilih sebagai cara mengundang minat menulis
anak. Seperti pagi itu di SD Islam Al Ikhlas, Bekasi, Jawa Barat. Selain
mendengarkan pengalaman penulis cilik, anak-anak juga diajak berlomba menulis.
Cerpen berjudul Bola karya Zahra
siswa kelas 4 menjadi salah satu pemenang tulisan terbaik.
“Ceritanya tentang gadis cantik,
dulunya dia gak suka main bola terus sejak lapangan baru dia jadi suka terus
mengikuti pertandingan, menang.”
Pernah menulis sebelumnya gak Zahra?
“Enggak. Ya kalau aku jadi penulis,
amin deh”
Alya
dan teman-teman
Sundari, salah seorang guru di
sekolah tersebut menyambut baik acara ini.
“Ya sangat-sangat bagus ya apalagi dengan langsung mendatangkan penulis cilik Dinda. Mudah-mudahan itu jadi motivasi untuk anak-anak terutama SDIT Al-Ikhlas sebetulnya mungkin punya bakat menulis tapi masih terpendam, dengan didatangkan penulis cilik mereka akan termotivasi. Siapa tahu anak-anak kami nanti, salah satu atau mungkin banyak ya nanti bisa seperti Dinda. Itu suatu hal yang positif bagi anak-anak dan semoga bisa membawa nama SDIT Al-Ikhlas.”
“Ya sangat-sangat bagus ya apalagi dengan langsung mendatangkan penulis cilik Dinda. Mudah-mudahan itu jadi motivasi untuk anak-anak terutama SDIT Al-Ikhlas sebetulnya mungkin punya bakat menulis tapi masih terpendam, dengan didatangkan penulis cilik mereka akan termotivasi. Siapa tahu anak-anak kami nanti, salah satu atau mungkin banyak ya nanti bisa seperti Dinda. Itu suatu hal yang positif bagi anak-anak dan semoga bisa membawa nama SDIT Al-Ikhlas.”
Alya Namira Nasution alias Dinda
yang pagi itu bercerita tentang pengalaman menjadi penulis cilik mengaku senang
bisa mengisi acara promosi keliling.
“Senang sih soalnya kan menambah
pengalaman, jadi banyak teman, jadi kita punya banyak pengalaman buat ditulis.
Aku pernah nulis di blog kalau seru-serunya nulis, seru-serunya ikut roadshow
gitu.”
Selain sering mengisi acara promosi
keliling Kecil-Kecil Punya Karya, Dinda juga mengelola rumah buku. Total ada
sekitar 2000 buku koleksi rumah buku yang diberi nama Alya Nayla ini. Sebagian
besar dibeli dari hasil royalti penjualan buku Dinda.
“Bunda bilang kalau buku-buku banyak
di situ jarang dibaca, dibaca juga tapi gak semua kebacakan lebih bagus
dipinjem-pinjemin gitu. Akhirnya buku-buku ini dipinjemin dibuat rumah buku
Alya Nayla. Dari dulu sih pengen buat perpustakaan tapi gak pernah jadi”
Sementara penulis cilik lainnya,
Muthia rajin menularkan hobinya menulis ke teman-teman sekolah dan sang bunda.
Di sekolah Thia dan temannya membuat kelompok Pecinta dan Penulis Cerpen,
mereka bahkan sudah menerbitkan buku kumpulan cerpen. Sang bunda, Shinta
Handini kini juga menjadi penulis.
Meskipun sudah pernah menghasilkan
banyak karya bukan berarti Thia tidak pernah merasa bosan. Namun dia punya tips
untuk mengatasinya.
“Kadang kalau lagi gak mood atau
lagi gimana gitu sering, kadang-kadang blank gitu akhirnya berhenti nulis dulu,
refreshing, main piano. Kalau udah muncul idenya lagi baru ku tulis lagi.”
Jika Muthia dan Dinda berhasil
menjadi penulis cilik bukan berarti semuanya berjalan mulus. Ada usaha yang harus
dilakukan. Merekapun berbagi tips menjadi penulis untuk anak-anak lainnya.
“Tulis aja, kalau kayak aku sih
selalu membawa buku catatan kemana-mana. Jadi kalau ada ide aku tulis dan
jangan pernah takut untuk mengirimlah”, kata Muthia.
“Yang pertama itu tetap cari
inspirasi dari manapun atau dimanapun gitu. Terus kalau punya ide jangan
dipendam, langsung aja ditulis, misalkan diperjalanan gak bawa buku tulis, di
handphonekan ada memo-memonya jadi bisa ditulis di situ nanti baru dipindahin
ke komputer. Terus kalau punya cita-cita pengen nulis kembangin aja nulisnya
yang udah ditulis sampai akhirnya bisa dikirimkan ke penerbit”, lanjut Dinda.
0 komentar: