Percakapan seperti ini sering kali Bunda jumpai;
Ibu A: ”Anakku sudah bisa membaca, lho padahal umurnya baru 2 tahun.”
Ibu B: ”Oia? Si kakak umur segitu malah sudah bisa menulis. Telaten ajarkan
nulis juga dong.”
Ibu C: ”Meski belum bisa menulis, anakku luar biasa cerdasnya. Kadang aku
berpikir tumbuh kembangnya lebih cepat dibanding anak-anak seusianya.”
Sadar nggak kalau kadang kita berpikir dan beranggapan anak kita selalu
lebih hebat dibanding anak lainnya. Dan hal ini juga yang membuat kita
bersikap, bahwa pola asuh yang kita terapkan paling oke dibanding yang lain.
Kenapa begitu? Menurut Jane Swigart, Ph.D., penulis The Myth of the Perfect
Mother, Kita memang berada di lingkungan yang penuh dengan situasi persaingan,
dan ini terjadi pula di lingkungan sesama ibu.
Awalnya, persaingan antar ibu ini muncul ketika masa kehamilan, di mana
banyak ibu yang ramai-ramai membandingkan kehamilannya. Begitu pun pas
persalinan. Bunda masih ingat bagaimana pandangan seorang ibu yang seolah
mencibir ibu lain ketika harus melahirkan secara sesar. ”Kalau nggak merasakan
kontraksi mah namanya lahiran ’boongan’, bu. Hehe,” begitu ujarnya. Belum lagi
ketika kita—misalnya—nggak bisa memberikan ASI dengan alasan tertentu. Sudah
pasti bakal ada protes keras dari sebagian itu yang otomatis membuat kita makin
merasa gagal dan terpuruk. Ditambah ketika ada saja yang membandingkan tumbuh
kembang anak kita dengan anaknya yang—menurutnya—jauh lebih hebat. Baru ngerasa
deh, motherhood itu keras, bung!
Dorongan dan perasaan ingin menilai ibu lain itu hal yang lumrah dan Bunda
nggak menyalahkan hal tersebut. Tapi ada baiknya kita juga memikirkan efek lain
dari penilaian tersebut. Merasa anak tetangga lebih pintar, ada lho ibu yang
memaksa anak untuk kursus ini itu dengan tujuan agar anak bisa pintar. Salah?
Nggak juga, namun bagaimana dari segi mental anak? Apa anak akan merasa happy?
Apa anak sempat bermain? Apa menjadi pintar bagi mereka itu keharusan?
Para ahli psikologi sepakat, biasanya Ibu memiliki kecenderungan lebih
kritis terhadap perkembangan anaknya. Dan sikap kritis ini pula yang memicunya
untuk terus membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain. Dalam batas
tertentu, sikap membanding-bandingkan bisa jadi motivasi positif, tapi lebih
sering justru membuat ibu lain rendah diri dan merasa gagal.
Satu hal nih yang mungkin sama-sama harus kita sadari. Setiap anak memiliki
keunikan masing-masing dan perkembangan sesama anak nggak bisa dipukul rata.
Ketika anak Anda bisa berdiri, mungkin saja anak tetangga yang seumuran masih
belajar merangkak atau anak sepupu bakhan sudah bisa berjalan. Hal ini wajar
kok, karena masing-masing anak punya kecepatan perkembangan yang berbeda-beda.
Jadi, mari bersaing positif dalam mengasuh anak, namun tetap mengingat ada
batasan-batasan tertentu. Setiap orang tua punya hak mutlak dalam gaya
pengasuhan anaknya. Pengasuhan yang tepat bagi kita belum tentu bagi mereka.
Yuk dukung sesama orang tua dengan tidak membandingkan segala hal yang bisa
membuat orang tua lain rendah diri. Tetap bersyukur dengan segala yang sudah
kita miliki dan mencoba mendukung mereka yang membutuhkan. Dengan begini,
rasanya nggak akan ada anak yang merasa dikorbankan demi ego kita sebagai orang
tua, setuju?